Pointers Kamisan Guru KMI Pondok Modern Tazakka
Kamis, 11 Agustus 2016
Oleh: KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.
========================
1. HAKEKAT GURU
Menjadi guru adalah pilihan hidup. Berangkatnya dari keterpanggilan, bukan keterpaksaan atau desakan. Karena profesi guru adalah keterpanggilan untuk mendidik dan mengajar, apabila diniati dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh akan melahirkan Ruuhul Mudarris atau jiwa guru. “Wa ruuhul mudarris ahammu min mudarris nafsihi” (jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri).
Sekarang banyak guru tetapi tidak memiliki jiwa keguruan. Pendidik tapi tidak mempunyai jiwa kependidikan. Sebagaimana banyak ibu-ibu yang telah kehilangan jiwa keibuannya & bapak-bapak yang kehilangan jiwa kebapakannya. Pemimpin yang tidak punya jiwa kepemimpinan.
Jangan berfikir menjadi guru adalah keterpaksaan dan suratan takdir. Karena itu akan membuat kita tidak bisa istiqomah sehingga rezeki kita akan tertahan. Jangan ada ungkapan penyesalan: “Sebetulnya saya ingin jadi pengusaha, tapi karena tidak kesampaian maka jadi guru”; “andaikata ada jalan untuk menjadi pegawai, maka saya akan mengejarnya..”; dan ungkapan-ungkapan lain yang senada. Seperti ini tidak dibenarkan! Bersyukurlah menjadi guru. Ini pekerjaan mulia.
Andaikata mau, mungkin RasululLaah yang awalnya pada usia 25 telah merintis dagang dengan Khadijah, mestinya bisa saja Rasul meneruskan dagangannya. Akan tetapi, kehendak Allah, Rasul menjadi utusan-Nya. Artinya mendidik umat manusia: “Sesungguhnya aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia”. “Sesungguhnya aku diutus untuk menjadi pendidik”.
2. ISTIQOMAH MENJADI GURU
Maka, istiqomahlah atas pilihah menjadi guru yang punya tugas dan fungsi mendidik manusia dan menyiapkan generasi masa depan. Kemarin Syaikh Dr. Muhammad Rajab mewasiatkan pada saya tentang sebuah Hadis Nabi SAW:
استقيموا ولن تحصوا
“Istiqomahlah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitungnya”
Menghitung apa? Hadis Nabi itu tidak menyebutkan obyeknya, begitu kata Syaikh Muhammad Rajab. Artinya bisa berupa rezeki, kemenangan, kekuatan, kesabaran, keunggulan, dan lain sebagainya. Jadi, kata beliau, Nabi mewasiatkan agar istiqomah dalam kebaikan dan kebenaran, maka kamu akan mendapat pertolongan Allah yang sangat besar yang kamu sendiri tidak pernah bisa mengira dan menghitungnya.
Saya dulu pernah mendapatkan tawaran menjadi CEO perusahaan di Jakarta, staf ahli sebuah bank syariah, direktur SDM sebuah rumah sakit cukup besar di Jakarta, dan bahkan juga pernah ditawari meniti karier diplomat di KBRI di beberapa negara Timur Tengah. Ini saya ceritakan bukan untuk riya’ (wal ‘iyadzubilLaah). Namun, itu semua tidak saya pilih dan pilihan saya adalah mendirikan pondok dan menjadi guru. Itulah maksud bahwa menjadi guru adalah pilihan hidup.
Ustadz Anizar, Ustadz Bisri, Ustadz Oyong dan lain-lain di sini semua sama; memilih menjadi guru. Ustadz Anizar setelah 4 tahun di KBRI Damaskus, ditawari lagi meneruskan karier, tetapi tidak mau. Ustadz Bisri demikian pula. Dan kalian demikian pula, masih muda, punya akhlak yang baik, punya kompetensi, saya yakin kalian sebetulnya punya peluang banyak untuk bekerja di luar, akan tetapi kalian memilih di sini mengabdikan diri untuk masa depan anak-anak, itu pilihan hidup namanya. Insya Allah mulia.
Adapula cerita Mbah Zar (KH. Imam Zarkasyi) yang saat itu sudah menjadi salah satu pejabat tinggi di Departemen Agama Pusat di Jakarta. Namun, setelah itu beliau pulang ke Gontor. Saat KH Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama diutus Presiden untuk membujuk Mbah Zar kembali ke Jakarta, tibalah ia di Gontor. Namun, setelah beliau melihat Mbah Zar sedang asyik bermain voli dengan santri-santri, KH. Wahid Hasyim tidak mampu menahan air matanya dan tidak tega membujuk Mbah Zar untuk kembali ke Jakarta. Kata Mbah Wahid Hasyim: “lihatlah singa itu, dia telah kembali ke kandangnya, dan jika singa telah kembali ke kandang maka pasti akan melahirkan singa-singa lainnya.”
Ternyata benar, keistiqomahan Mbah Zar pulang ke Gontor melahirkan ‘singa-singa’: ada Idham Khalid, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, Nurcholish Madjid, Hidayat Nur Wahid, Lukman Hakim Saefuddin, A.M. Fakhir, Maftuh Basyuni, Muzammil Basyuni, Suhaili Kalla, dan tokoh-tokoh nasional lainnya, termasuk lahirnya kita-kita ini semua.
Itulah pilihan hidup para kiai pesantren. Mereka istiqomah di pesantren, maka lahirlah tokoh-tokoh bangsa dan tokoh umat dari pesantren; dari didikan tangan kiai. Dan karena pilihan para kiai itulah antara lain sekarang kita bisa seperti ini. Maka, tugas kita itu “liyundziruu qoumahum idzaa roja’uu ilaihim”.
3. RISALAH GURU
Hampir saja seorang guru itu seperti Rasul.
كاد المعلم أن يكون رسولا
Salah satu risalah guru adalah mendidik manusia, menciptakan manusia yang berkualitas serta memiliki SDM yang bermutu.
Jangan takut menjadi guru. Kita tidak lebih rendah dari HTI, FPI, menteri-menteri, anggota DPR, bahkan Presiden sekalipun. Jadi, jangan sampai berkecil hati. Biarlah semuanya berjuang di jalannya masing-masing, “kullun ya’malu ‘ala syakilatih” yang penting tujuannya sama: li i’laa’i kalimatilLaah. Karena tugas kita adalah menciptakan manusia yang bermutu.
Untuk menuju kemajuan, kita harus membangun SDM terlebih dahulu, barulah membangun peradaban. Membangun manusianya, baru membangun bangunan. Kata Syaikh Farfur kemarin dalam mottonya:
الإنسان أولا ثم البنيان
Membangun manusia dulu, baru membangun fisik bangunan
Karena manusialah yang membuat peradaban. Apabila peradaban fisik kita bangun lebih dulu, sedangkan manusianya tidak kita bangun, maka yang terjadi justru nanti manusianya yang akan menghancurkan peradaban itu sendiri. Ingat, bahwa membangun manusia dan mendidik manusia adalah sebuah jihad.
Maka, selalu saya katakan berulang-ulang: “Membangun masjid itu mudah dan sebentar, yang sulit dan lama adalah membangun manusia yang akan membangun masjid.”
Jadi, risalah guru adalah membangun manusia, bukan membangun bangunan fisik. Ini tugas berat.
4. MAKNA MODERN
Ada kata modern di pondok ini. Apanya yang modern? Apa arti modern?
Harus dipahami bahwa yang modern bukan bangunannya bukan pula pakaiannya, tetapi yang modern adalah jiwa dan cara berfikirnya. Karena bangunan dan pakaian tidak menunjukkan kemodernan, bahkan tidak menunjukkan apapun. Apa dikira kalau kita pakai jas dan dasi lantas dikatakan modern? Banyak orang pakai jas dan dasi hidup di kota tetapi norak dan kampungan. Sementara banyak orang di kampung, dengan pakaian sarung, kaosan dan bersandal jepit tetapi cara berpikir dan wawasannya sangat maju dan modern.
Apa lantas kalau kita pakai surban lalu dikatakan alim? Belum tentu! Kealimanmu terletak pada kedalaman ilmu, ma’rifat dan keunggulan akhlakul karimahmu. Itu yang menilai masyarakat, disamping tentu saja Allah dan Rasul-Nya. Jadi, pakaianmu belum cukup menunjukkan siapa dirimu, tetapi akhlakmu-lah yang menunjukkan siapa dirimu.
إن الله لا ينظر الى صوركم ولكن ينظر الى قلوبكم
Sesungguhnya Allah tdk melihat bentukmu, akan tetapi Allah melihat hatimu.
Maka, pola pikir, SDM, termasuk sistem dan menejemennya yang harus dibangun agar menjadi lembaga yang modern.
Modern bisa dilihat dalam dua perspektif yaitu fakta dan cita-cita. Saat ini mungkin itu semua masih cita-cita, meskipun sebagian sudah menjadi fakta. Maksudnya, kita ini benar-benar sudah modern kalau jiwanya terbuka, cara berpikirnya maju dan progresif serta sistemnya mapan dan berjalan mantap. Tapi, jika belum maka modern itu anggap saja sebagai cita-cita. Doa kita semua supaya kelak cita-cita kita menuju makna modern sebagai fakta segera terwujud.
5. MODERN & TRADISIONAL
Yang modern adalah pola pikir bukan bentuknya. Maka, antara modern dan tradisional itu tidak bisa dipertentangkan apalagi dibenturkan. Bukan berarti yang bangunan sederhana itu yang tradisional, dan yang bangunan megah yang modern. Bisa jadi yang bangunannya nampak sederhana hakekatnya lebih modern daripada yang bangunannya nampak megah.
Jangan sampai kita terjebak dalam stigma pemikiran yang mempertentangkan antara modernitas dan tradisionalitas. Kita ini modern, tetapi sekalipun modern kita tetap pondok pesantren. Ada nilai-nilai tradisional pesantren yang tidak boleh hilang. Artinya, kita ini pondok modern yang masih tetap menjaga tradisionalitas. Jadi, pondok modern yang tradisional atau tradisional yang modern, keduanya tidak ada bedanya.
Tidak berarti yang tradisional jelek, yang modern yang bagus. Atau sebaliknya, yang modern yang jelek dan yang tradisional yang bagus. Sudah bukan zamannya mempertentangkan hal-hal seperti ini. Sekarang ini berpikirnya adalah kualitas dan bagaimana menciptakan keunggulan-keunggulan di semua bidang. Generasi muslim harus tampil di depan, mengisi dan memberi warna negeri ini: jadilah pemain jangan hanya jadi penonton.
6. MENDIDIK SANTRI
Di pondok ini semuanya boleh dilakukan, asalkan sesuai dengan koridor alam pendidikan di pondok. Banyak kegiatan yang sepintas lalu seperti “menyimpang” dari pakem umum, namun tetap dilaksanakan di pondok karena ditujukan untuk mendidik anak-anak.
Di sini anak-anak ada yang main barongsai, tidak ada masalah. Boleh saja. Ada gymnastik, boleh saja. Ada musik, ada olahraga, ada senam, ada tari, semuanya tidak dilarang asal semuanya dalam kerangka pendidikan dan tidak menyimpang dari nilai-nilai pondok. Justru, semua kegiatan itu harus diisi dengan nilai-nilai Islam & nilai-nila pondok. Dahulu Walisongo dakwahnya begitu, melalui seni, budaya dan kemasyarakatan. Walisongo mengisinya dengan nilai-nilai Islam.
Di pondok ini, shalat diletakkan dalam dua pendekatan: shalat sebagai ibadah dan shalat sebagai pendidikan. Sebagai contoh, santri menjadi imam sedangkan ustadznya bahkan kiainya menjadi makmum, itu pendekatan shalat sebagai pendidikan. Kalau sebagai ibadah an sich, maka seharusnya yang jadi imam ya kiainya: paling tua, paling fasih, paling mengerti Al-Quran, dan syarat-syarat imamah lainnya. Lha kalau itu diterapkan, kapan santri mendapatkan pendidikan imamah? Justru dengan kiai menjadi makmum, kalau santri keliru masih bisa dibetulkan / diperbaiki.
Shalat jamaah di masjid untuk semua santri adalah Subuh, Asar dan Maghrib. Adapun Dzuhur dan Isya, yang di masjid hanya santri baru dan kelas VI, yang lainnya di kamar masing-masing. Untuk apa? Untuk mendidik mereka mengorganisir jamaah shalat dalam lingkup yang terkecil; di situ ada yang giliran jadi muadzin, imam dan kultum. Mereka kita didik ibadah dalam lingkup terkecil dulu, yaitu sekamar, nanti kalau sudah kelas VI baru naik ke masjid. Supaya di masyarakat tidak canggung. Inilah metode kita mendidik. Yang percaya dengan sistem ini monggo, tidak ya tidak apa-apa.
Maka, “Pendidikan menjadi dasar setiap pemikiran dan pergerakan di pondok ini”.
7. PENDIDIKAN KARAKTER
Pondok ini tidak mendidik santri menjadi generasi cengeng , tetapi kita mendidik calon-calon pemimpin umat yang berkarakter. Maka, diadakanlah kegiatan terus menerus dan padat dengan disiplin yang tinggi. Akan tetapi tetap fun dan rileks. Ada orang tua yang tidak tega melihat anaknya kegiatan banyak sampai malam, maka silahkan diambil; dididik sendiri di rumah.
Orang saat ini sedang ramai dengan isu-isu di dunia pendidikan. Isu kebijakan full day school, kurikulum yang berubah-ubah, pendidikan karakter dan lainnya. Tetapi, itu semua sudah dilakukan dan dipikirkan oleh pesantren semenjak dulu, dan itu adalah ciri KEMAJUAN PESANTREN.
Pesantren sudah lama mendidik karakter santri, karena guru di dalamnya bukan sekedar mengajar, namun mereka juga mendidik. Di pondok mendidik anak-anak 24 jam nonstop tanpa hitungan materil transaksional. Semua dibalut dengan keikhlasan. Kiai ikhlas memimpin, guru ikhlas mengajar, santri ikhlas diajar dan dididik serta walisantri ikhlas memasukkan anaknya untuk dididik di pondok.
Saya sebagai pimpinan di pondok ini waktunya 24 jam. Pagi, siang, sore dan malam yang saya pikirkan hanyalah pondok dan santri. Silahkan kalian lihat dan amati apa yang dipikirkan dan dikerjakan pimpinan dalam 24 jam sehari-harinya. Maka, saya wajibkan semua bagian melaporkan hasil kerjanya, minta arahan-arahan dan jangan menunggu ditanya atau dipanggil.
8. LAIN-LAIN
▶ Pimpinan Pondok pada zaman ini seyogyanya melek teknologi informasi. Saya memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memutus mata rantai pekerjaan yang membutuhkan waktu lama. Maka, laporkan pekerjaan dan tugas kalian lewat WA supaya saya bisa lebih efektif dan efisien dalam sistem kontrol.
Ada lebih dari 14 grup bagian-bagian di pondok ini yang saya pantau semuanya. Maka, seperti TMC yang tiap sore update data santri yang sakit, diagnosanya apa, penanganannya bagaimana itu saya pantau. Bagian pembangunan update progress pekerjaan juga saya perhatikan. Bagian KMI yang merumuskan metode dan muatan pelajaran juga tidak luput dari pengamatan kami.
Jadi, diantara pekerjaan pimpinan pondok sekarang adalah membaca WA. Hanya saja jangan WA-nan terus, nanti malah tidak mengurus pondok dan tidak ngopeni santri. Proporsional dan seperlunya saja untuk mempercepat pekerjaan.
▶ Di pondok ini semuanya pekerjaan dasarnya adalah keikhlasan. Andaikata pun pimpinan terpaksa harus marah karena suatu hal, maka marahnya insyaAllah ikhlas. Di sini saya tegaskan tidak ada marah karena pribadi, sebab di sini marah pun harus pakai sistem dan berada dalam sistem. Jangan marah tanpa sebab, atau marah karena suka atau tidak suka.
▶ Kesejahteraan jangan dipahami uang atau materi. Tapi, kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan batin, jiwa, pikiran, syukur-syukur sejahtera secara materi. Kita mengabdi dan berjuang di pondok ini tidak ada perjanjian transaksional. Tetapi transaksi kita dengan Allah SWT.
ditranskrip oleh:
Alam Mahardika (Koord. Tim Media Center)
============
SUMBER: GROUP WA