INDAHNYA SEJARAH ISLAM

​Copas dari Prof Jimly Ǎ Shidiqie

BIARKAN SEJARAH BICARA

Suatu Masa, Ketika Islam Menjadi Adidaya
Penyerahan kunci Istana Al-Hambra oleh Sultan Muhammad As-Shaghir kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella pada 2 January 1492 M menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Spanyol. Itu artinya, secara politik Islam sama sekali tidak memiliki hak terhadap Spanyol. 
Namun berakhirnya kekuasaan Islam di Spanyol tidak serta merta mengakhiri kisah kaum muslimin di negeri itu, penyerahan kekuasaan justru merupakan awal dari sejarah kelam kaum muslimin di sana. Piagam Granada yang menjanjikan kebebasan beragama bagi kaum muslimin rupanya tidak berumur panjang. 
Pada tahun 1502 umat Islam diberi dua opsi, mameluk Kristen atau pergi meninggalkan bumi Spanyol. Artinya, menetap di Spanyol dengan tetap memeluk agama Islam sama artinya dengan bunuh diri. 
Banyak kaum muslimin yang memilih meninggalkan Spanyol, namun tidak sedikit yang memilih pindah agama secara dzohir, namun tetap beribadah secara Islami dengan sembunyi-sembunyi. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kaum Moriscos.
Seiring dengan berjalannya waktu, keberadaan kaum Moriscos dianggap sebagai sebuah ancaman. Sehingga antara tahun 1508-1567 keluar sejumlah peraturan yang melarang segala hal yang bernuansa Islam, baik pakaian maupun nama. Penggunaan bahasa Arab juga dilarang. Anak-anak kaum muslimin dipaksa untuk menerima pendidikan dari para pendeta Kristen. 
Puncaknya pada tahun 1609-1614 sebanyak 300.000 Moriscos diusir dari Spanyol oleh Raja Philip III. Benar-benar sebuah kenyataan sejarah yang pahit dan menyedihkan.
Dari Spanyol mari kita pindah ke belahan bumi yang lain, tepatnya ke Turky tempat dimana kekhalifahan Ottoman berpusat. Setelah mendengar penyiksaan yang dilakukan penguasa Spanyol terhadap kaum muslimin, Sultan Salim I marah besar, dia mengeluarkan Dekrit yang berisi perintah kepada seluruh penganut Yahudi dan Nasrani yang berada di bawah kekuasaannya untuk memilih satu dari dua opsi, tinggal menetap dengan catatan memeluk agama Islam atau pergi meninggalkan Tanah Kekhalifahan. Mendengar Dekrit tersebut, Syaikh Ali Afandi At-Tirnabily selaku Mufti Ottoman saat itu menyampaikan penolakannya terhadap Dekrit Sultan. 

Mufti menjelaskan bahwa Dekrit tersebut tidak boleh dilaksanakan sekalipun kaum muslimin disembelih di negeri-negeri Salib. Mufti juga menjelaskan bahwa selamanya tidak ada paksaan dalam beragama.
Akhirnya Sultan Salim menarik keputusannya dan membiarkan penganut Yahudi dan Nashrani tinggal dengan aman dan damai di bawah pemerintahannya. Iya, mereka semua tinggal dengan aman dan damai disaat pemerintah Spanyol menyembelih ratusan ribu kaum muslimin di negaranya.
Allahu Akbar..!!! Betapa agungnya Islam..
Batapa agungnya peradaban Islam… 
Sikap Sultan Salim yang tunduk pada rambu-rambu keislaman sudah cukup sebagai jawaban bahwa Islam bukan teroris, namun sebagai rahmatan lil ‘aalamin. Dimana bila Islam berkuasa, dia akan menjadi pengayom bagi semua.
Andai Islam intoleran seperti yang mereka tuduhkan, tentu tidak akan satu Yahudi atau satu Kristenpun yang tersisa di tanah Andalus, Turky, Mesir, Lebanon, Jordan dan sejumlah negara lainnya saat Islam berkuasa di sana.

Inilah sejarah kami… 
JADI TIDAK USAH MENGAJARI KAMI TTG TOLERANSI
Sumber bacaan:

1. Tarikh Al-Muslimiin Fi Al-Andalus. DR. Muhammad Suhail Thaqus. Penerbit: Daar A-Nafais

  1. Udzama’ Al Mi’ah. Jihad At-Turbany. Penerbit: Daar At-Taqwa

Madinah 02-08-1436 H

Mari kita share ttg sejarah ini  🌷

​*Finhashiyyah ( الفِنْحَاصِيَّةُ )*

Dahulu, di zaman Nabi Muhammad, ada seorang lelaki yang bernama Finhash ( فِنْحَاصٌ ).
Orang ini adalah salah satu tokoh intelektual kaum Yahudi yang didengarkan ucapannya dan menjadi panutan.
Suatu hari, Abu Bakar menasehatinya agar masuk Islam, tetapi  secara kurangajar dia merespon dengan kata-kata yang ringkasnya kira-kira seperti ini:
“Hai Abu Bakar, tuhanmu itu dalam Al-Qur’an itu ‘kan bilang mau pinjam uang kepada orang-orang beriman. Kalau dia pinjam uang, berarti dia miskin dong.”
Orang itu memaksudkan ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

{مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً} [البقرة: 245]
Artinya: 

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak?”

Ayat yang sebenarnya sangat jelas dalam cita rasa bahasa Arab dengan kualitas sastra tinggi bermakna anjuran berinfak dijalan Allah (ini bahasa majasi/metafor yang sudah biasa diulas sangat bagus oleh ulama-ulama tafsir) kemudian DIPUTARBALIKKAN MAKNANYA dengan tujuan yang busuk.
Memutarbalikkan kata-kata!
Inilah sifat Finhash.
Kekurangajaran Finhash ini sampai diabadikan dalam Al-Qur’an:
{لَقَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاءُ سَنَكْتُبُ مَا قَالُوا وَقَتْلَهُمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَنَقُولُ ذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ } [آل عمران: 181]
Artinya: 

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang mengatakan: ‘Sesunguhnya Allah miskin dan kami kaya.’ Aku akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Aku akan mengatakan (kepada mereka): ‘Rasakanlah olehmu azab yang membakar.'”
Rupanya, kecenderungan menyimpang dalam dien seperti Finhash ini di zaman sekarang pelan-pelan banyak menginfeksi orang.

Secara tidak sadar, mulai banyak yang terjangkiti finhashiyyah, dan celakanya yang terkena justru banyak kalangan yang dianggap kaum intelektual dan tokoh.
Yang jadi korban selalu orang awam.
Contoh ungkapan memutarbalikkan kata-kata:

“Tuhan tidak perlu dibela, karena Dia Maha Kuasa. Bukankah Dia Raja alam semesta?”
“Islam tidak perlu dibela, karena sudah mulia. Islam itu rusak karena pemeluknya,”
“Nabi Muhammad tidak perlu dibela, beliau sudah mulia. Penghinaan tidak mengurangi keagungan beliau,”

dsb.
Sungguh, ungkapan di atas adalah pemutarbalikan kata-kata, akrobat intelektual. Mirip seperti cara argumentasi “slengekan” ketika orang mengatakan:
“Istri orang, sebenarnya adalah istri kita juga, 

Karena kita adalah orang.”
Orang yang berpengetahuan akan mudah mengidentifikasi kebatilan ucapan tersebut, tetapi orang awam bisa jadi ada yang terfitnah.
Orang beriman membela Allah itu jangan dibayangkan bahwa yang dibela adalah lemah sehingga butuh perlindungan. Membela Allah adalah bahasa metafor, maknanya adalah tidak terima penghinaan terhadap Allah, dan itu adalah bukti cinta. Allah tidak menuntut kita melindungi-Nya, tetapi menuntut kita menyembah-Nya. Aksi terpenting penyembahan kepada-Nya adalah menjadikan puncak cinta hanya kepada-Nya. Adalah cinta palsu jika diam saja ketika yang dicintai dihinakan.
Membela Islam itu jangan dibayangkan bahwa Islam seperti makhluk hina yang perlu dilindungi. Membela Islam adalah bahasa metafor. Maknanya yakni menjalankan perintah Allah sebagai bentuk ketaatan untuk meninggikan kalimat-Nya.

Membela Nabi Muhammad itu bukan karena dengan penghinaan maka keagungan beliau menjadi berkurang. Menjaga kehormatan Nabi Muhammad adalah tuntutan iman dan konsekuensi cinta kepada Allah. Dusta besar jika ada orang yang mengaku cinta Allah, tetapi tidak cinta kepada Nabi Muhammad.

Bahasa majasi dalam Al-Qur’an itu banyak. Untuk memahaminya perlu bahasa Arab yang cukup, ilmu balaghoh, pengetahuan syair jahiliyyah, dan penjelasan ulama yang otoritatif.
Contoh ayat yang sering didengar:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ} [محمد: 7]

Artinya:

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Betapa rusaknya jika ayat tersebut dipahami bahwa Allah itu lemah sehingga perlu ditolong. 
Memutarbalikkan kata-kata adalah sunnahnya kaum Yahudi. Firman Allah dalam Al-Qur’an:

{يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ } [المائدة: 13]

Artinya:

“Mereka mengubah kalimat-kalimat dari tempatnya.”
🌎🌎🌎

Waspada dengan Finhash-Finhash zaman sekarang.
Jika ada tokoh yang dikagumi, atau kaum intelek yang didengarkan ucapannya tetapi memiliki kecenderungan finhashiyyah, segera saja ditinggalkan. 
Ganti panutan.
Agar tidak salah jalan.
Wallahua’lam.
〰〰〰〰〰〰〰〰

Oleh: Ustadz Muafa

(Dosen PAI UB dan Pengasuh Ponpes Irtaqi Malang).

MENGAJARKAN QUR’AN DAN MENGASAH KEMANDIRAN ANAK 

​Sarmini, Pendiri Markaz Quran Utrujah, Pencetak Hafiz dan Hafizah

admin  Agustus 12, 2016 Berita, Kliping Media Leave a comment 269 Views
SarminiBerawal dari keberhasilan menjadikan anaknya penghafal Alquran di usia 7,8 tahun, metode Sarmini lantas banyak diminati dan diadopsi di berbagai penjuru negeri. Dia mengajar dengan cara talqin: dibacakan, kemudian siswa diminta menirukan.
KHAFIDLUL ULUM, Jakarta
DI rumah dua lantai itu, tak ada pekerjaan rumah yang tak beres. Mulai bersih-bersih, mencuci, sampai memasak. Masing-masing ada yang mengerjakan. Tanpa berusaha melemparkannya ke teman. Bukan semata karena penghuninya banyak, sekitar 40 santri putri. Tapi karena kedisiplinan dan tanggung jawab itu ditanamkan.
Misalnya yang terlihat Senin dua pekan lalu (13/6) itu. Para santri dengan terampil mengerjakan rangkaian dari memasak. Di antaranya memotong sayur, membersihkan bawang, atau menggoreng. ”Jadi, kami tak hanya mengajarkan hafalan Alquran di sini, tapi juga life skill,” kata Sarmini.
Mereka merupakan para santri Sarmini, pendiri Markas Quran Utrujah. Ada tiga rumah di lokasi padat penduduk itu yang digunakan sejak 2013. Rumah dua lantai tadi untuk asrama santri. Dua rumah lainnya untuk tempat tinggal Sarmini, para ustadah, dan pemilik rumah.

Penamaan Markas Quran Utrujah juga berbarengan dengan pindahnya Sarmini ke Kampung Rambutan. Utrujah diambil dari salah satu hadis Nabi SAW, yaitu jenis buah yang enak rasanya dan harum baunya.
Nama Sarmini mulai dikenal sebagai pencetak hafiz dan hafizah atau penghafal Alquran jauh sebelum Markas Quran Utrujah berdiri. Persisnya ketika dia masih tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur, bersama sang suami Hari Susanto dan anak-anaknya serta mengajar di Ma’had Umar bin Khattab Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida).
Mulai tinggal di Kota Petis itu pada 2010, sekitar setahun berselang, anak pertamanya, Saudah Tsabitah yang baru berusia 7,8 tahun, berhasil menghafal 30 juz. ”Saya selalu membacakannya Alquran sejak dia lahir,” kata perempuan kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, pada 28 Agustus 1975 itu.
Saudah lahir di Sudan pada 2004 ketika Sarmini berkuliah S-2 jurusan pengajaran bahasa Arab untuk orang asing atau non-Arab di Khartoum International Institute of Arabic Language. Begitu pula anak keduanya, Atikah Madaniya, saat Sarmini melanjutkan pendidikan ke jenjang S-3 di perguruan tinggi yang sama.
Untuk Saudah, kadang Sarmini juga memutar kaset yang berisi tilawah Alquran. Ketika menginjak usia 2,5 tahun, si kecil sudah diajari huruf hijaiah dan mengenal tulisan Arab. Tiga tahun kemudian Saudah dididik menghafal Alquran. Yaitu dengan cara ditalqin. Dibacakan, kemudian anak diminta menirukan.
Dimulai dari juz 30. Proses talqin dilakukan secara bertahap. Ayat per ayat, tapi kadang hanya setengah ayat jika ayatnya cukup panjang. Setelah dibacakan beberapa kali, sang anak diminta menirukan sampai hafal.
Ketika sudah hafal satu ayat, pindah ke ayat selanjutnya. Begitu seterusnya hingga anak itu hafal satu halaman Alquran. Saat sudah hafal satu halaman, Saudah sudah bisa menghafal tanpa proses talqin.
Dia sudah mempunyai cara sendiri untuk menghafal. Saudah kemudian diminta setor hafalan setiap pagi. Dan mengulanginya pada siang dan sore hari. Jadi, ayat yang sudah dihafal akan tetap terjaga dan tidak terlupa. Jadilah pada usia 7,8 tahun Saudah sudah berhasil hafal 30 juz.
Keberhasilan Saudah menjadi hafizah di usia sebelia itu ternyata menarik minat beberapa rekan Sarmini. Sarmini tak berkeberatan. Dia pun menerapkan metode yang telah dipakai ke tiga anak rekannya yang belajar kepadanya.
Namun, pada 2011 Sarmini dan keluarganya harus pindah ke Jakarta. Dia diterima menjadi pengajar di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta. Saat pindah ke ibu kota itu, dia mengajak tiga mahasiswi Ma’had Umar bin Khattab Umsida. ”Mereka saya minta untuk bantu saya (mengajar Alquran, Red),” ucap dia.
Belum lama tinggal di Jakarta, ada sekitar lima anak yang belajar Alquran darinya. Ibu empat anak itu pun menerapkan kurikulum yang sudah diterapkannya kepada anak-anaknya. Dengan dibantu tiga ustadah, dia dengan telaten mengajari para siswa. Setiap anak bergantian ditalqin. Setelah dibacakan, siswa tersebut kemudian diminta menirukan sampai hafal.
Metode talqin digunakan untuk menjadikan anak fokus pada pendengaran. Tentu kemampuan anak berbeda-beda. Jika sudah bisa hafal satu halaman, siswa akan dilepas dan tidak ditalqin lagi.
Untuk memudahkan proses pengajaran, Sarmini pun membagi dua kelas. Yaitu kelas mentoring untuk yang belum hafal satu halaman dan kelas mandiri yang sudah hafal satu halaman. Anak yang masuk kelas mandiri sudah mempunyai cara sendiri dalam menghafal dan memiliki target sendiri. Misalnya, dalam sehari dia bisa setor satu halaman.
Anak yang belajar di rumah Sarmini pun semakin banyak. Hanya dalam beberapa bulan, siswanya sudah mencapai 15 anak. Saat itu dia tinggal di rumah kontrakan berukuran 5 x 6 meter di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Dia mengontrak dua kamar.
Setelah banyak anak yang belajar di rumah itu, Sarmini menyewa satu kamar lagi. Siswa tersebut juga menetap di rumah Sarmini. Mereka banyak berasal dari luar Jakarta. Misalnya Sidoarjo, Surabaya, Mojokerto, Jogjakarta, dan Kalimantan Timur. ”Mereka mendapat informasi dari mulut ke mulut. Banyak yang anak teman saya,” kata perempuan yang punya hobi traveling itu.
Walaupun tinggal di rumah kontrakan, para siswa tetap bersemangat. Orang tua siswa juga percaya dengan Sarmini. Semakin hari siswa yang mendaftar bertambah banyak. Akhirnya dia pun menerima tawaran seorang teman untuk pindah ke rumah yang ditempati kini bersama para santri di Kampung Rambutan.
Setahun di sana, Markas Quran Utrujah menggelar wisuda perdana untuk siswa angkatan pertama sebanyak 15 siswa. Dalam usia belia, mereka sudah hafal Alquran. Ada yang dalam waktu 10 bulan sudah hafal 30 juz. Padahal, rata-rata mereka masih berusia 6 , 7, 8, dan 9 tahun. Yang paling kecil berusia 6 tahun.

Seusai wisuda perdana, semakin banyak siswa yang mendaftar. Namun, ujar Sarmini, pihaknya tidak bisa menerima banyak siswa. Sebab, tenaga pengajarnya terbatas. Hanya enam orang. Karena itu, banyak yang akhirnya masuk waiting list. ”Yang waiting list sampai 50 orang,” ucapnya.
Seleksi masuk Markaz Quran Utrujah memang ketat. Calon siswa harus mampu membaca Alquran dengan lancar dan pernah satu kali khatam Alquran. Setelah wisuda pertama itu, Sarmini kemudian mendirikan Markaz Quran Utrujah untuk siswa laki-laki yang berlokasi tidak jauh dari tempat santri perempuan. Saat ini siswa di setiap tempat itu sekitar 40. Para siswa berasal dari berbagai daerah: Jawa Timur, Jogjakarta, dan Kalimantan Timur.
Selain menghafal Alquran, para siswa diajari bahasa Arab. Juga life skill alias keterampilan untuk menunjang hidup mereka kelak. Yang terlihat Senin siang dua pekan lalu itu misalnya. Beberapa santri tampak mengangkat keranjang besar yang berisi pakaian basah.
Ada dua keranjang baju. Setiap keranjang diangkat dua santriwati. Pakaian basah itu lantas dibawa ke jemuran. Mereka hanya dilibatkan dalam menjemur, sedangkan mencuci pakaian dengan mesin dilakukan sendiri oleh ustadah yang bertugas mencuci.
Saat waktu mendekati salat Duhur, para santri sudah selesai menjemur pakaian. Mereka kemudian mengembalikan keranjang baju dan bergabung dengan santri lain untuk menunaikan salat berjamaah.
Kartika Sari, salah seorang wali siswa, menyatakan, banyak kelebihan yang dimiliki Markaz Quran Utrujah. ”Anak diajari tanggung jawab walaupun masih kecil,” ujar dia.
Hasilnya, anak-anak jadi cepat mandiri dalam menghafal. Dia memberi contoh anaknya, Aisyah Tsamroh, yang baru dua tahun mondok di tempat itu. ”Dia jadi dewasa dan bertanggung jawab,” katanya.
Karena menghafal Alquran membutuhkan fisik yang prima, makanan untuk para santri juga sangat diatur. Siswa tidak boleh membeli jajan di luar. Hanya saat hari libur mereka boleh beli jajan. Itu pun dibatasi hanya Rp 10 ribu.
Setiap siswa selalu diberi makan sayuran. Mereka juga dibatasi untuk makan gorengan. Daging ayam yang dipilih tidak sembarangan. Harus daging sehat yang tidak disuntik hormon. Utrujah mempunyai langganan khusus dengan harga yang lebih murah.
Karena kemampuan para siswanya, para santri Utrujah pun pernah diundang untuk mengisi acara di salah satu stasiun TV nasional. Mereka diminta menunjukkan kebolehan menghafal Alquran. Para siswa bergantian memperlihatkan kemampuan. Jadilah Utrujah pun semakin berkibar. Lembaga pendidikan dari berbagai daerah pun datang untuk studi banding. Dalam sebulan setidaknya ada dua lembaga yang datang.
Banyak sekolah yang kemudian mengadopsi dan memakai nama Utrujah. Antara lain di Samarinda, Jogjakarta, Malang, dan Depok. Yang mengadopsi kurikulum saja tanpa nama terdapat di Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik.
Sarmini juga menjadi konsultan di banyak sekolah Islam. Dia juga semakin sibuk mengisi seminar Alquran di berbagai wilayah. Misalnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sumatera, Aceh, Riau, Bengkulu, dan Lampung. Sarmini juga menulis buku dengan judul Alhamdulillah Balitaku Khatam Alquran. Buku kedua sedang dikerjakan. ”Saya ingin terus mengembangkan lembaga pendidikan hingga punya SMP sampai SMA,” katanya


Sumber : group WA

POTRET PEMUDA YANG DIRINDUKAN SURGA

​Di Yaman, tinggalah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak, tubuhnya belang-belang. Walaupun cacat, ia adalah pemuda yang soleh dan sangat berbakti kepadanya Ibunya. Ibunya adalah seorang wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan Ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan.
“Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkan agar Ibu dapat mengerjakan haji,” pinta Ibunya. Uwais tercenung, perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh melewati padang pasir tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Namun Uwais sangat miskin dan tak memiliki kendaraan.
Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seeokar anak lembu, Kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkinkan pergi Haji naik lembu. Olala, ternyata Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi beliau bolak balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. “Uwais gila.. Uwais gila…” kata orang-orang. Yah, kelakuan Uwais memang sungguh aneh.
Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi.
Setelah 8 bulan berlalu, sampailah musim Haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kg, begitu juga dengan otot Uwais yang makin membesar. Ia menjadi kuat mengangkat barang. Tahulah sekarang orang-orang apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari. Ternyata ia latihan untuk menggendong Ibunya.
Uwais menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Mekkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya.
Uwais berjalan tegap menggendong ibunya tawaf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa. “Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais. “Bagaimana dengan dosamu?” tanya ibunya heran. Uwais menjawab, “Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridho dari Ibu yang akan membawa aku ke surga.”
Subhanallah, itulah keinganan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah SWT pun memberikan karunianya, Uwais seketika itu juga disembuhkan dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di tengkuk? itulah tanda untuk Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat utama Rasulullah SAW untuk mengenali Uwais.
Beliau berdua sengaja mencari Uwais di sekitar Ka’bah karena Rasullah SAW berpesan “Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdua untuk kamu berdua.”
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu, durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
CERITA KEHIDUPAN UWAIS AL QORNI
Pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau. Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.
Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa gembiranya hati Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.
Uwais Ai-Qarni Pergi ke Madinah
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.
Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia?
Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.
Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan do’a dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta do’a pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Seperti yang dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Fenomena Ketika Uwais Al-Qarni Wafat
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit. 
Subhanallah

RENUNGAN UNTUK PARA GURU/PENDIDIK

​Pointers Kamisan Guru KMI Pondok Modern Tazakka

Kamis, 11 Agustus 2016

Oleh: KH. Anang Rikza Masyhadi, MA.

========================
1. HAKEKAT GURU

Menjadi guru adalah pilihan hidup. Berangkatnya dari keterpanggilan, bukan keterpaksaan atau desakan. Karena profesi guru adalah keterpanggilan untuk mendidik dan mengajar, apabila diniati dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh akan melahirkan Ruuhul Mudarris atau jiwa guru. “Wa ruuhul mudarris ahammu min mudarris nafsihi” (jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri).
Sekarang banyak guru tetapi tidak memiliki jiwa keguruan. Pendidik tapi tidak mempunyai jiwa kependidikan. Sebagaimana banyak ibu-ibu yang telah kehilangan jiwa keibuannya & bapak-bapak yang kehilangan jiwa kebapakannya. Pemimpin yang tidak punya jiwa kepemimpinan. 
Jangan berfikir menjadi guru adalah keterpaksaan dan suratan takdir. Karena itu akan membuat kita tidak bisa istiqomah sehingga rezeki kita akan tertahan. Jangan ada ungkapan penyesalan: “Sebetulnya saya ingin jadi pengusaha, tapi karena tidak kesampaian maka jadi guru”; “andaikata ada jalan untuk menjadi pegawai, maka saya akan mengejarnya..”; dan ungkapan-ungkapan lain yang senada. Seperti ini tidak dibenarkan! Bersyukurlah menjadi guru. Ini pekerjaan mulia. 
Andaikata mau, mungkin RasululLaah yang awalnya pada usia 25 telah merintis dagang dengan Khadijah, mestinya bisa saja Rasul meneruskan dagangannya. Akan tetapi, kehendak Allah, Rasul menjadi utusan-Nya. Artinya mendidik umat manusia: “Sesungguhnya aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia”. “Sesungguhnya aku diutus untuk menjadi pendidik”. 
2. ISTIQOMAH MENJADI GURU

Maka, istiqomahlah atas pilihah menjadi guru yang punya tugas dan fungsi mendidik manusia dan menyiapkan generasi masa depan. Kemarin Syaikh Dr. Muhammad Rajab mewasiatkan pada saya tentang sebuah Hadis Nabi SAW:

استقيموا ولن تحصوا

“Istiqomahlah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitungnya”
Menghitung apa? Hadis Nabi itu tidak menyebutkan obyeknya, begitu kata Syaikh Muhammad Rajab. Artinya bisa berupa rezeki, kemenangan, kekuatan, kesabaran, keunggulan, dan lain sebagainya. Jadi, kata beliau, Nabi mewasiatkan agar istiqomah dalam kebaikan dan kebenaran, maka kamu akan mendapat pertolongan Allah yang sangat besar yang kamu sendiri tidak pernah bisa mengira dan menghitungnya. 
Saya dulu pernah mendapatkan tawaran menjadi CEO perusahaan di Jakarta, staf ahli sebuah bank syariah, direktur SDM sebuah rumah sakit cukup besar di Jakarta, dan bahkan juga pernah ditawari meniti karier diplomat di KBRI di beberapa negara Timur Tengah. Ini saya ceritakan bukan untuk riya’ (wal ‘iyadzubilLaah). Namun, itu semua tidak saya pilih dan pilihan saya adalah mendirikan pondok dan menjadi guru. Itulah maksud bahwa menjadi guru adalah pilihan hidup. 
Ustadz Anizar, Ustadz Bisri, Ustadz Oyong dan lain-lain di sini semua sama; memilih menjadi guru. Ustadz Anizar setelah 4 tahun di KBRI Damaskus, ditawari lagi meneruskan karier, tetapi tidak mau. Ustadz Bisri demikian pula. Dan kalian demikian pula, masih muda, punya akhlak yang baik, punya kompetensi, saya yakin kalian sebetulnya punya peluang banyak untuk bekerja di luar, akan tetapi kalian memilih di sini mengabdikan diri untuk masa depan anak-anak, itu pilihan hidup namanya. Insya Allah mulia.
Adapula cerita Mbah Zar (KH. Imam Zarkasyi) yang saat itu sudah menjadi salah satu pejabat tinggi di Departemen Agama Pusat di Jakarta. Namun, setelah itu beliau pulang ke Gontor. Saat KH Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai Menteri Agama diutus Presiden untuk membujuk Mbah Zar kembali ke Jakarta, tibalah ia di Gontor. Namun, setelah beliau melihat Mbah Zar sedang asyik bermain voli dengan santri-santri, KH. Wahid Hasyim tidak mampu menahan air matanya dan tidak tega membujuk Mbah Zar untuk kembali ke Jakarta. Kata Mbah Wahid Hasyim: “lihatlah singa itu, dia telah kembali ke kandangnya, dan jika singa telah kembali ke kandang maka pasti akan melahirkan singa-singa lainnya.”
Ternyata benar, keistiqomahan Mbah Zar pulang ke Gontor melahirkan ‘singa-singa’: ada Idham Khalid, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, Nurcholish Madjid, Hidayat Nur Wahid, Lukman Hakim Saefuddin, A.M. Fakhir, Maftuh Basyuni, Muzammil Basyuni, Suhaili Kalla, dan tokoh-tokoh nasional lainnya, termasuk lahirnya kita-kita ini semua. 
Itulah pilihan hidup para kiai pesantren. Mereka istiqomah di pesantren, maka lahirlah tokoh-tokoh bangsa dan tokoh umat dari pesantren; dari didikan tangan kiai. Dan karena pilihan para kiai itulah antara lain sekarang kita bisa seperti ini. Maka, tugas kita itu “liyundziruu qoumahum idzaa roja’uu ilaihim”. 
3. RISALAH GURU

Hampir saja seorang guru itu seperti Rasul

كاد المعلم أن يكون رسولا
Salah satu risalah guru adalah mendidik manusia, menciptakan manusia yang berkualitas serta memiliki SDM yang bermutu.
Jangan takut menjadi guru. Kita tidak lebih rendah dari HTI, FPI, menteri-menteri, anggota DPR, bahkan Presiden sekalipun. Jadi, jangan sampai berkecil hati. Biarlah semuanya berjuang di jalannya masing-masing, “kullun ya’malu ‘ala syakilatih” yang penting tujuannya sama: li i’laa’i kalimatilLaah. Karena tugas kita adalah menciptakan manusia yang bermutu. 
Untuk menuju kemajuan, kita harus membangun SDM terlebih dahulu, barulah membangun peradaban. Membangun manusianya, baru membangun bangunan. Kata Syaikh Farfur kemarin dalam mottonya:
الإنسان أولا ثم البنيان

Membangun manusia dulu, baru membangun fisik bangunan
Karena manusialah yang membuat peradaban. Apabila peradaban fisik kita bangun lebih dulu, sedangkan manusianya tidak kita bangun, maka yang terjadi justru nanti manusianya yang akan menghancurkan peradaban itu sendiri. Ingat, bahwa membangun manusia dan mendidik manusia adalah sebuah jihad.
Maka, selalu saya katakan berulang-ulang: “Membangun masjid itu mudah dan sebentar, yang sulit dan lama adalah membangun manusia yang akan membangun masjid.”
Jadi, risalah guru adalah membangun manusia, bukan membangun bangunan fisik. Ini tugas berat. 
4. MAKNA MODERN

Ada kata modern di pondok ini. Apanya yang modern? Apa arti modern?
Harus dipahami bahwa yang modern bukan bangunannya bukan pula pakaiannya, tetapi yang modern adalah jiwa dan cara berfikirnya. Karena bangunan dan pakaian tidak menunjukkan kemodernan, bahkan tidak menunjukkan apapun. Apa dikira kalau kita pakai jas dan dasi lantas dikatakan modern? Banyak orang pakai jas dan dasi hidup di kota tetapi norak dan kampungan. Sementara banyak orang di kampung, dengan pakaian sarung, kaosan dan bersandal jepit tetapi cara berpikir dan wawasannya sangat maju dan modern. 
Apa lantas kalau kita pakai surban lalu dikatakan alim? Belum tentu! Kealimanmu terletak pada kedalaman ilmu, ma’rifat dan keunggulan akhlakul karimahmu. Itu yang menilai masyarakat, disamping tentu saja Allah dan Rasul-Nya. Jadi, pakaianmu belum cukup menunjukkan siapa dirimu, tetapi akhlakmu-lah yang menunjukkan siapa dirimu. 
إن الله لا ينظر الى صوركم ولكن ينظر الى قلوبكم

Sesungguhnya Allah tdk melihat bentukmu, akan tetapi Allah melihat hatimu. 
Maka, pola pikir, SDM, termasuk sistem dan menejemennya yang harus dibangun agar menjadi lembaga yang modern.
Modern bisa dilihat dalam dua perspektif yaitu fakta dan cita-cita. Saat ini mungkin itu semua masih cita-cita, meskipun sebagian sudah menjadi fakta. Maksudnya, kita ini benar-benar sudah modern kalau jiwanya terbuka, cara berpikirnya maju dan progresif serta sistemnya mapan dan berjalan mantap. Tapi, jika belum maka modern itu anggap saja sebagai cita-cita.  Doa kita semua supaya kelak cita-cita kita menuju makna modern sebagai fakta segera terwujud.
5. MODERN & TRADISIONAL

Yang modern adalah pola pikir bukan bentuknya. Maka, antara modern dan tradisional itu tidak bisa dipertentangkan apalagi  dibenturkan. Bukan berarti yang bangunan sederhana itu yang tradisional, dan yang bangunan megah yang modern. Bisa jadi yang bangunannya nampak sederhana hakekatnya lebih modern daripada yang bangunannya nampak megah. 
Jangan sampai kita terjebak dalam stigma pemikiran yang mempertentangkan antara modernitas dan tradisionalitas. Kita ini modern, tetapi sekalipun modern kita tetap pondok pesantren. Ada nilai-nilai tradisional pesantren yang tidak boleh hilang. Artinya, kita ini pondok modern yang masih tetap menjaga tradisionalitas. Jadi, pondok modern yang tradisional atau tradisional yang modern, keduanya tidak ada bedanya. 
Tidak berarti yang tradisional jelek, yang modern yang bagus. Atau sebaliknya, yang modern yang jelek dan yang tradisional yang bagus. Sudah bukan zamannya mempertentangkan hal-hal seperti ini. Sekarang ini berpikirnya adalah kualitas dan bagaimana menciptakan keunggulan-keunggulan di semua bidang. Generasi muslim harus tampil di depan, mengisi dan memberi warna negeri ini: jadilah pemain jangan hanya jadi penonton. 
6. MENDIDIK SANTRI

Di pondok ini semuanya boleh dilakukan, asalkan sesuai dengan koridor alam pendidikan di pondok. Banyak kegiatan yang sepintas lalu seperti “menyimpang” dari pakem umum, namun tetap dilaksanakan di pondok karena ditujukan untuk mendidik anak-anak.
Di sini anak-anak ada yang main barongsai, tidak ada masalah. Boleh saja. Ada gymnastik, boleh saja. Ada musik, ada olahraga, ada senam, ada tari, semuanya tidak dilarang asal semuanya dalam kerangka pendidikan dan tidak menyimpang dari nilai-nilai pondok. Justru, semua kegiatan itu harus diisi dengan nilai-nilai Islam & nilai-nila pondok. Dahulu Walisongo dakwahnya begitu, melalui seni, budaya dan kemasyarakatan. Walisongo mengisinya dengan nilai-nilai Islam. 
Di pondok ini, shalat diletakkan dalam dua pendekatan: shalat sebagai ibadah dan shalat sebagai pendidikan. Sebagai contoh, santri menjadi imam sedangkan ustadznya bahkan kiainya menjadi makmum, itu pendekatan shalat sebagai pendidikan. Kalau sebagai ibadah an sich, maka seharusnya yang jadi imam ya kiainya: paling tua, paling fasih, paling mengerti Al-Quran, dan syarat-syarat imamah lainnya. Lha kalau itu diterapkan, kapan santri mendapatkan pendidikan imamah? Justru dengan kiai menjadi makmum, kalau santri keliru masih bisa dibetulkan / diperbaiki. 
Shalat jamaah di masjid untuk semua santri adalah Subuh, Asar dan Maghrib. Adapun Dzuhur dan Isya, yang di masjid hanya santri baru dan kelas VI, yang lainnya di kamar masing-masing. Untuk apa? Untuk mendidik mereka mengorganisir jamaah shalat dalam lingkup yang terkecil; di situ ada yang giliran jadi muadzin, imam dan kultum. Mereka kita didik ibadah dalam lingkup terkecil dulu, yaitu sekamar, nanti kalau sudah kelas VI baru naik ke masjid. Supaya di masyarakat tidak canggung. Inilah metode kita mendidik. Yang percaya dengan sistem ini monggo, tidak ya tidak apa-apa. 
Maka, “Pendidikan menjadi dasar setiap pemikiran dan pergerakan di pondok ini”.
7. PENDIDIKAN KARAKTER

Pondok ini tidak mendidik santri menjadi generasi cengeng , tetapi kita mendidik calon-calon pemimpin umat yang berkarakter. Maka, diadakanlah kegiatan terus menerus dan padat dengan disiplin yang tinggi. Akan tetapi tetap fun dan rileks. Ada orang tua yang tidak tega melihat anaknya kegiatan banyak sampai malam, maka silahkan diambil; dididik sendiri di rumah. 
Orang saat ini sedang ramai dengan isu-isu di dunia pendidikan. Isu kebijakan full day school, kurikulum yang berubah-ubah, pendidikan karakter dan lainnya. Tetapi, itu semua sudah dilakukan dan dipikirkan oleh pesantren semenjak dulu, dan itu adalah ciri KEMAJUAN PESANTREN. 
Pesantren sudah lama mendidik karakter santri, karena guru di dalamnya bukan sekedar mengajar, namun mereka juga mendidik. Di pondok mendidik anak-anak 24 jam nonstop tanpa hitungan materil transaksional. Semua dibalut dengan  keikhlasan. Kiai ikhlas memimpin, guru ikhlas mengajar, santri ikhlas diajar dan dididik serta walisantri ikhlas memasukkan anaknya untuk dididik di pondok.
Saya sebagai pimpinan di pondok ini waktunya 24 jam. Pagi, siang, sore dan malam yang saya pikirkan hanyalah pondok dan santri. Silahkan kalian lihat dan amati apa yang dipikirkan dan dikerjakan pimpinan dalam 24 jam sehari-harinya. Maka, saya wajibkan semua bagian melaporkan hasil kerjanya, minta arahan-arahan dan jangan menunggu ditanya atau dipanggil.
8. LAIN-LAIN

▶ Pimpinan Pondok pada zaman ini seyogyanya melek teknologi informasi. Saya memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memutus mata rantai pekerjaan yang membutuhkan waktu lama. Maka, laporkan pekerjaan dan tugas kalian lewat WA supaya saya bisa lebih efektif dan efisien dalam sistem kontrol.
Ada lebih dari 14 grup bagian-bagian di pondok ini yang saya pantau semuanya. Maka, seperti TMC yang tiap sore update data santri yang sakit, diagnosanya apa, penanganannya bagaimana itu saya pantau. Bagian pembangunan update progress pekerjaan juga saya perhatikan. Bagian KMI yang merumuskan metode dan muatan pelajaran juga tidak luput dari pengamatan kami. 
Jadi, diantara pekerjaan pimpinan pondok sekarang adalah membaca WA. Hanya saja jangan WA-nan terus, nanti malah tidak mengurus pondok dan tidak ngopeni santri. Proporsional dan seperlunya saja untuk mempercepat pekerjaan.
▶ Di pondok ini semuanya pekerjaan dasarnya adalah keikhlasan. Andaikata pun pimpinan terpaksa harus marah karena suatu hal, maka marahnya insyaAllah ikhlas. Di sini saya tegaskan tidak ada marah karena pribadi, sebab di sini marah pun harus pakai sistem dan berada dalam sistem. Jangan marah tanpa sebab, atau marah karena suka atau tidak suka.
▶ Kesejahteraan jangan dipahami uang atau materi. Tapi, kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan batin, jiwa, pikiran, syukur-syukur sejahtera secara materi. Kita mengabdi dan berjuang di pondok ini tidak ada perjanjian transaksional. Tetapi transaksi kita dengan Allah SWT.
ditranskrip oleh:

Alam Mahardika (Koord. Tim Media Center)

============

SUMBER: GROUP WA